DEWAN KOTA
Dewan Kota (gemeenteraad-Belanda) sebagai sebuah lembaga yang peduli pada kenyamanan dan keamanan warga kota. Di banyak kota di dunia Lembaga ini telah lama eksis, tapi di sebagian kota keberadaannya masih belum kelihatan peran bahkan eksistensinya. Konsep dewan kota sebenarnya telah dikenal sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Di Medan, keberadaan dewan kota pernah juga ada, namun kabarnya tak kedengaran lagi hingga kini. Dewan kota berfungsi sebagai representasi kepentingan warga yang universal sesuai kebutuhan satu kota.
Program diskusi kebudayaan Deli Art Community di hari Sabtu, 26 Oktober 2024 di ruang N4R1 di Jalan Sei Batanghari No. 2 Medan menghadirkan dua narasumber dengan latar belakang arkeologi dan lingkungan serta sejarah. Diskusi yang mengangkat tema dewan kota ini diharapkan mampu berkontribusi gagasan untuk menyegarkan ingatan perihal visi, misi, tujuan dan eksistensi dewan kota serta bagaimana kemungkinan bisa diwujudkan kembali di kota yang sangat plural tersebut.
Dalam pemaparannya Yance, Dosen FISIP USU berjudul dewan kota dan peranannya dalam mewujudkan smart city, sedangkan Gustanto, dosen Fakultas Vokasi USU memantik diskusi dengan judul dewan tata kota. Apakah dewan kota yang dibicarakan itu mencoba membandingkan dengan tugas DPRD Tingkat Kota Medan? Jelas tidak ke sana arahnya, karena kita tahu bahwa eksitensi dewan perwakilan rakyat tersebut merupakan perpanjangan tangan dari partai politik.
Dewan kota merupakan lembaga musyawarah yang bersifat non-struktural pada tingkat kota sebagai wadah untuk mengaktualisasikan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan pelayanan publik, kata Yance mengawali diskusi. Akan tetapi Gustanto mencoba menawarkan konsep berbeda yang lebih cenderung menggunakan istilah dewan tata kota, dimana merupakan suatu lembaga atau badan yang bertugas merencanakan, mengatur dan mengawasi pengembangan tata ruang dan penggunaan lahan di suatu daerah perkotaan.
Mantan bupati Serdang Bedagai, Soekirman sedikit menceritakan pengalamannya berkunjung ke salah satu kota di Korea Selatan. “Kami dibawa keliling oleh seorang guide dari satu kuburan ke kuburan di sebuah komplek pekuburan di kota itu. Dia menceritakan dengan detail bagaimana kekerasan politik membantai beratus mahasiswa, ada yang hamil dan mati lalu dikuburkan secara massal dalam satu perlawanan terhadap rezim yang berkuasa waktu itu,” katanya.
“Coba bayangkan, di sana perlakuan pada korban politik sangat berbeda, mereka menghormati HAM, mereka merekam memori itu dalam satu monumen khusus untuk diingat generasi selanjutnya, sementara kita di sini, segalanya terbalik. Kalau bisa, peristiwa kekerasan politik itu dihapuskan sama sekali dan orang dipaksa lupa,” katanya getir.
Bob, salah satu peserta diskusi, asli orang Pacitan, Jawa Timur tapi beberapa generasi di atasnya sudah menetap di Singapura. Ia bercerita tentang pengalamannya sebagai warga Singapura. Untuk menerapkan satu perubahan melalui satu peraturan agar dapat diwujudkan dan warga memiliki tingkat kedisiplinan menjalankannya, sangat butuh kekuatan paling puncak (top gun) yang memiliki konsistensi. Kalau tidak, jangan harap akan terjadi, katanya.
Lebih jauh Jaya Arjuna memaparkan satu peristiwa mencengangkan. “Medan pernah mendapat penghargaan adipura sebagai kota terbersih di Indonesia,” katanya. Peserta diskusi mendengar penjelasannya itu langsung terperangah. “Ah, yang betul dulu, Bang?!” Beberapa menimpali ketidakpercayaan itu.
Dengan percaya diri sambil memegang tongkat laki-laki gaek ini bilang, “Iya, betul. Waktu itu terjadi kerjasama tiga instansi. Dengan kerjasama dan kepatuhan pada walikota, maka secara dahsyat, sungguh luar biasa, Medan memang betul-betul membuktikan bisa bersih, tapi kejadian itu hanya berlangsung selama tiga hari, selebihnya kembali ke habitat semula,” katanya sambil tertawa.
Mendengar pengakuannya, yang lain pun terdiam, sebagian tertawa, sebagian lagi melongo tanpa sepatah kata. “Loh, tapi kan bisa? Intinya bisa bersih, walaupun itu hanya untuk tiga hari,” katanya dengan menggerakan kedua bahu.
Salah satu persoalan Bersama adalah kebersihan kota, ini harus menjadi penting untuk perhatian semua warga. Kita menemukan sebuah tulisan di tembok atau sebuah plang dengan bunyi: jangan buang sampah di sini! Tetapi justru kebanyakan warga di tempat itu pula membuang sampah. Tentu saja tindakan ini kontradiktif. Dalam konteks meletakkan/membuang sampah pun, kita para warga kota seolah kehilangan kemampuan. Padahal kita tahu yang kita bawa adalah sampah, tapi sampah yang kita hasilkan itu dilemparkan seenaknya saja ke tepi jalan raya, ke tengah jalan raya, ke parit, ke sungai, atau dilempar ke mana saja sesukanya, bahkan dengan tanpa rasa bersalah. Apakah kita menyadari kalau sebenarnya kita telah kehilangan kewarasan, sehingga untuk menangani persoalan meletakkan sampah pada tempatnya pun sulit sekali kita lakukan dengan baik?
Diskusi itu merebak ke banyak aspek, yang mencoba menelusuri seluk beluk perkotaan yang semerawut. Diskusi perihal dewan kota ini akan terus digulirkan di pertemuan selanjutnya. Tentu saja dengan menghadirkan kawan-kawan lain yang sudi berbagi gagasan dan pengalaman agar ke depan dapat kita wujudkan semangat yang sama, terbentuknya dewan kota yang peduli merawat kota dan berkontribusi memberi masukan dan penyeimbang bagi pemerintah kota.