Indonesia Gelap: Rambu-rambu ke Orde Baru?
#Indonesia Gelap: Rambu-rambu ke Orde Baru?
Oleh: Lely Zailani, Pendiri Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari)
Sejarah bangsa kita kok seperti algoritma yang terus merekomendasikan video yang sama, meskipun kita sudah menekan ‘Not Interested’ ya? Kita pikir setelah Reformasi, algoritma sejarah akan berubah. Ternyata tidak. Kita tetap terjebak pada siklus yang berulang, seperti menolak di-reset: represi, pembungkaman, dan elite yang tak mau turun panggung.
Seperti déjà vu, Mak. Seolah-olah kita sedang berjalan mundur, kembali ke Orde Baru, mengikuti rambu-rambu yang dulu pernah membawa kita ke dalam kegelapan. Seperti film lama yang terus diputar ulang, hanya dengan pemeran berbeda.
Rambu-Rambu: Jalan Pulang ke Orde Baru?
Beberapa waktu lalu, seorang aktivis perempuan muda yang lahir di era Reformasi bertanya kepada saya, “Apa yang Ibu ingat tentang Orde Baru?” Saya terdiam sejenak. Lalu tiga hal muncul di kepala: Safari KB, PKK, dan Gerwani. Tiga alat kontrol negara atas tubuh perempuan.
Tentara datang ke desa-desa, perempuan dikumpulkan di balai desa, lalu dipaksa ber-KB. Ibu saya salah satu korbannya. Pasca menjadi akseptor KB, ia mengalami pendarahan dan kemudian sakit-sakitan. Waktu itu, di kampung saya tidak ada dokter, tidak ada Puskesmas, tidak ada aplikasi E-LAPOR untuk menyampaikan keluhan. Ibu saya akhirnya meninggal dalam kesakitan. Ini kenangan tentang Orde Baru yang paling membekas dan menyakitkan.
Yang lain, adalah pengalaman saya sendiri saat aktif berorganisasi. Orde Baru membatasi kebebasan berorganisasi, apalagi bagi perempuan. Ketika tahun 1990 kami mulai membangun organisasi perempuan akar rumput di perdesaan wilayah Sumatera Utara, kami mendapat stigma sebagai Gerwani. Dengan stigma itu, banyak tantangan, intimidasi hingga pembubaran pertemuan-pertemuan yang kami laksanakan.
Orde Baru menyediakan wadah tunggal untuk perempuan desa dalam PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Maka perempuan dilarang membentuk organisasi. Selain PKK, organisasi perempuan dianggap ‘berbahaya’ dan dituduh ‘seperti Gerwani’. Negara membentuk perempuan agar tunduk pada peran domestik dan menjadikannya alat untuk menanamkan kepatuhan kepada negara serta militer.
Julia Suryakusuma menyebutnya Ibuisme Negara, cara rezim Orde Baru membentuk dan mengontrol perempuan melalui peran istri yang setia, ibu yang baik, dan penjaga moral keluarga serta negara. Konsep ini masih relevan sampai sekarang, tapi reformasi memungkinkan gerakan perempuan lebih leluasa melawan narasi ‘perempuan sebagai penjaga moral’ yang digunakan untuk membatasi kebebasan perempuan. Karena perempuan sesungguhnya juga penggerak dan pengubah.
Tikungan yang Sama: Militerisme dan Patriarki
Militerisme bukan sekadar kontrol politik; ia memperkuat sistem patriarki dengan menciptakan hierarki kaku dan logika kekerasan yang menyingkirkan perempuan dari pengambilan keputusan. Perempuan tidak dilihat sebagai agen perubahan, melainkan sebagai pihak yang harus ‘dilindungi’—narasi yang menutupi kenyataan bahwa mereka justru paling rentan terhadap represi negara.
Dulu, perempuan desa dipaksa ikut Safari KB di bawah pengawasan tentara. Kini, negara lebih memilih membiayai pensiun jenderal daripada memastikan layanan perlindungan bagi perempuan tersedia di seluruh wilayah Indonesia. Tahun 2024, anggaran pertahanan mencapai Rp 151,3 triliun, sementara masih ada 120 kabupaten/kota yang belum memiliki Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
Revisi UU TNI yang memperpanjang usia pensiun prajurit bahkan membutuhkan tambahan Rp412 miliar hanya untuk menanggung 6.679 personel yang tetap bertahan dalam struktur organisasi. Ketimpangan ini bukan soal anggaran semata, tetapi mencerminkan bagaimana negara lebih memilih mempertahankan kekuasaan militer daripada melindungi warga sipil yang rentan, khususnya perempuan.
Mahasiswa: Alarm Sejarah yang Berulang
Pergerakan mahasiswa adalah satu rambu-rambu dalam sejarah negeri ini dan tidak boleh kita abaikan. Pada era Orde Baru, mahasiswa selalu menjadi pemantik perubahan besar. Tahun 1974, mereka turun ke jalan dalam Peristiwa Malari, memprotes modal asing yang terlalu dominan. Tahun 1978, mereka menentang Soeharto yang terus berkuasa, tetapi suara mereka dibungkam dengan Normalisasi Kehidupan Kampus. Puncaknya, pada 1998, mahasiswa di berbagai kota menduduki jalan-jalan, bahkan masuk ke gedung DPR, hingga akhirnya Soeharto lengser.
Kini, tanda-tanda itu mulai muncul lagi. Mahasiswa meneriakkan #IndonesiaGelap dan kembali turun ke jalan menolak revisi UU TNI, memprotes penyempitan ruang demokrasi, dan mengingatkan kita bahwa sejarah sedang berulang. Jika dulu suara mereka menjadi rambu-rambu menuju Reformasi, mungkinkah kali ini mereka sedang menunjukkan bahwa kita benar-benar sedang berjalan pulang ke Orde Baru?
Pers yang Berani, Pers yang Dibungkam
Dulu, Orde Baru membungkam pers dengan pembredelan dan penculikan. Kini, caranya lebih licik: ancaman terselubung, teror simbolik, hingga tekanan ekonomi.
Tempo kembali diteror setelah menyoroti revisi UU TNI dan manuver elite. Kiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor mereka bukan sekadar vandalisme, melainkan pesan: “Kami mengawasi, jangan terlalu kritis.”
Sejarah berulang. Dulu Tempo dibungkam karena membongkar skandal kapal perang, kini mereka kembali mendapat ‘peringatan’. Ketika Pers mulai bicara terlalu keras, selalu ada yang berusaha menekan tombol ‘mute’.
Penutup
Semua tanda ada di depan mata. Jalan yang kita tempuh sekarang memiliki rambu-rambu yang sama dengan masa lalu. Pers dibungkam, militer kembali ke ranah sipil, demokrasi semakin dikerdilkan. Tampaknya, kita sedang berada di jalan pulang ke Orde Baru.
Mereka sudah memberi tanda, Mak. Pertanyaannya, apakah kita sama-sama melihatnya sebagai sinyal peringatan? ***